Home » » Pelaksanaan Jihad Ketika Tidak Ada Ulil Amri (Pemikiran Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz)

Pelaksanaan Jihad Ketika Tidak Ada Ulil Amri (Pemikiran Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz)

 Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz adalah seorang dokter yang ahli dalam bidang medis, namun juga seorang ulama yang paham ilmu dien. Keulamaannya sangat diakui oleh anggota organisasi yang pernah ia pimpin. Konsep jihad yang ia terapkan bagi jamaahnya terbukti mampu menjadikan jamaahnya eksis dalam beberapa dekade di Mesir sebelum Ia ditangkap dan dibunuh oleh Pemerintah Mesir.

Konsep dan pemikiran  Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz tentang jihad bisa dipahami dari jawabannya terhadap beberapa perkara syubhat yang muncul. Dalam bukunya yang berjudul “Al-Umdah fi I`dadil Uddah”, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz menuangkan buah pikirannya ketika membantah syubhat-syubhat yang muncul seputar jihad. Yaitu terutama, tentang pelaksanaan jihad ketika tidak ada seorang ulil amri, sedangkan kaum muslimin dalam keadaan terzalimi. Berikut ini akan dipaparkan pemikiran-pemikiran Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz  berhubungan dengan hal tersebut:

Pertama: Hukum Jihad
Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz memahami bahwa asal hukum jihad adalah Fardhu Kifayah bagi kaum muslimin seluruhnya, jika telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka maka akan gugurlah kewajiban tersebut atas sebagian yang lain. Ia mendasari pendapatnya dengan firman Allah:
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (jannah) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” ( An-Nisa`:95)

Menurut Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz (1995:466), ayat tersebut menunjukkan bahwa kaum muslimin yang tidak ikut berperang tidak mendapatkan dosa jika telah ada sebagian dari mereka yang menegakkan jihad. Selain mendasari pendapatnya dengan ayat tersebut, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz juga mendasari pendapatnya dengan firman Allah,
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At Taubah:122).
Menurutnya, makna ayat tersebut telah terefleksikan dalam kehidupan Nabi dan para sahabatnya, yaitu bahwa beliau sering kali mengutus ekspedisi, sedangkan beliau dan sebagian sahabat tidak ikut dalam ekspedisi tersebut (Abdul Aziz, 2005:466)

Adapun berubahnya status hukum jihad dari Fardhu Kifayah menjadi Fardhu Ain, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz mengemukakan pendapatnya dengan menukil perkataan Ibnu Qudamah dalam bukunya Al-Mughni. Ia mengatakan, “Menurut Ibnu Qudamah, jihad akan menjadi Fardhu Ain dalam tiga keadaan, pertama, jika kedua pasukan telah berhadap-hadapan. Kedua, jika musuh telah menduduki wilayah kaum muslimin. Ketiga, jika Waliyul Amr memerintahkan kepada seseorang untuk berangkat berjihad”.

Di halaman 469 Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz juga mengatakan, “Kaum muslimin telah diberikan taklif (beban) oleh Allah untuk berjihad, baik itu jihad Thalabi (ofensif) maupun jihad Difa`i (defensif). Akan tetapi, terkadang jihad itu bisa berubah status hukumnya menjadi Fardhu Ain ataupun Fardhu Kifayah bagi mereka (sesuai dengan situasi)”

Hal senada juga dijelaskan oleh Al-Alusi (1987:106), bahwa jihad melawan orang kafir itu hukumnya adalah Fardhu Ain jika mereka telah melakukan penyerangan, namun jika mereka masih di wilayah mereka maka hukum jihad melawan mereka adalah Fardhu Kifayah. Al Ulyani (1995:129) juga menerangkan, bahwa menurut pendapat yang paling benar hukum jihad adalah Fardhu Kifayah jika dikerjakan oleh sekelompok dari kaum  muslimin, hal itu dilakukan dalam rangka penyebaran dakwah Islam, dan bukan untuk dilakukan oleh individu-individu muslim.

Dari beberapa paparan tersebut di atas bisa dipahami, bahwa Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz  menghukumi bahwa jihad itu hukum dasarnya adalah Fardhu Kifayah bagi kaum muslimin seluruhnya, dan akan gugur kewajiban tersebut bila telah ada sekelompok dari kaum muslimin yang mengerjakannya. Kemudian, jihad juga akan menjadi Fardhu Ain jika musuh telah mendahului penyerangan, atau kaum muslimin berada dalam kondisi-kondisi tertentu sehingga wajib baginya berjihad.

Kedua: Syarat Wajibnya Jihad
Sebagian orang mengatakan bahwa jihad harus dilakukan oleh orang yang telah mempunyai kadar keilmuan yang cukup atau keimanan yang kuat. Menanggapi subhat ini, Syaikh Abdul Qadir (2005:579) mengatakan, “Sesungguhnya keilmuan yang mumpuni bukan termasuk dari syarat wajibnya jihad, sehingga jika ada seseorang yang tidak mempunyai ilmu yang wajib Ia miliki secara mumpuni, tidak menjadikan terhalanginya kewajiban jihad.”

Ia menambahkan, “Kami ingin bertanya, manakah sejarah kehidupan Nabi dan para sahabatnya yang menunjukkan bahwa seseorang yang akan berjihad harus memperdalam keilmuannya terhadap agama? Sungguh, Nabi saw pada hari Hudaibiyah berangkat dengan seribu empat ratus sahabat dan pada hari pembukaan kota Mekkah dengan sepuluh ribu sahabat. Setelah itu, beliau berangkat ke perang Hunain dengan dua belas ribu sahabat, termasuk sahabat-sahabat yang baru masuk Islam, banyak di antara mereka berperang tanpa memperdalam ilmu agama dahulu”.

Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz (2005:578) menjelaskan, bahwa syarat wajibnya jihad sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah hanya ada tujuh, yaitu; Islam, balig, berakal, merdeka, laki-laki, sehat jasmani dan mempunyai nafkah. Selain dari yang tujuh syarat tersebut, juga bisa ditambahkan dengan syarat lain, seperti izin dari orang tua dan izin dari orang yang mempunyai uang bagi mereka yang berhutang. Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz menjelaskan kembali bahwa syarat-syarat tersebut hanya berlaku jika jihad pada waktu itu adalah Fardhu Kifayah, adapun jika hukum jihad pada waktu itu fardhu Ain, maka hanya lima syarat yang berlaku yaitu Islam, balig, berakal, laki-laki dan sehat badan.

Dari ungkapan dan jawaban yang diberikan oleh Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz di atas bisa dipahami, bahwa konsep jihad yang ia pahami dalam kaitannya dengan syarat wajibnya jihad adalah, jika hukum jihad Fardhu Kifayah maka syarat yang harus dipenuhi adalah Islam, balig, berakal, merdeka, laki-laki, sehat jasmani, mempunyai nafkah, izin dari orang tua dan izin dari orang yang memberinya pinjaman hutang. Adapun jika jihad telah menjadi Fardhu Ain maka syarat yang hanya berlaku adalah Islam, balig, berakal, laki-laki dan sehat badan.

Ketiga: Kewajiban Berjihad Bersama Pemimpin yang Saleh ataupun Fajir
Dalam hal ini, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz (2005:103) mengatakan bahwa di antara kaidah yang dipahami oleh ahlu sunnah wal jamaah adalah tetap berjihad di jalan Allah bersama setiap pemimpin, baik pemimpin tersebut saleh ataupun seorang yang fasik.

Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz mendasari perkataannya tersebut dengan hadits Nabi Shollaallahu Alaihi Wassallam,
إِنَّ اللَّهَ يُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
“Sesungguhnya Allah akan menguatkan agama ini dengan tangan seorang laki-laki yang fasiq”.

Menurutnya, jika jihad hanya terbatas oleh orang-orang yang saleh semata, maka akan mempunyai dampak yang negatif. Dalam bukunya ia menjelaskan, “Jika jihad hanya dibatasi pada  orang-orang yang saleh semata maka akan mempunyai sisi keburukan, yaitu jika orang-orang yang berakhlak buruk tidak dilibatkan maka orang-orang kafir yang fitnahnya terhadap dunia dan akhirat lebih besar akan menguasai wilayah-wilayah kaum muslimin.

Sedangkan jika orang-orang yang berakhlak buruk tersebut dilibatkan dalam perkara jihad maka akan mendapatkan dua manfaat sekaligus; pertama, orang-orang kafir bisa dikalahkan, kedua, banyak dari syariat Islam yang bisa dijaga dan dilaksanakan.” (Abdul Aziz, 2005:104).

Lebih lanjut Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz (2005:101) menjelaskan, bahwa jika keburukan akhlaknya tersebut hanya berkaitan dengan dirinya sendiri, seperti suka meminum minuman keras, berbuat maksiat, atau melakukan bi`dah, maka keburukan akhlaknya tersebut tidak menjadikan terhalangnya pergerakan jihad bersama pemimpin fajir tersebut. Namun sebaiknya tetap berjihad bersamanya dengan tetap memberikan nasihat yang bermanfaat.

Adapun jika  keburukannya itu bisa menimbulkan musibah yang akan menimpa kaum muslimin seperti, melakukan pengkhianatan dalam perang atau dalam pergerakan jihad, maka boleh untuk tidak berjihad dengan pemimpin tersebut. Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz (2005:109) mengatakan, “Jika pemimpin tersebut sudah tidak peduli lagi dengan kekalahan kaum muslimin, berkhianat dan mendukung musuh dari belakang, maka menurutku tidak berjihad bersamanya tidaklah mengapa. Sebab berjihad bersamanya sama berbahayanya dengan terhentinya jihad”.

Keempat: Relevansi Konsep Jihad Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz Dengan Ajaran Islam
Islamic Recearch Magazine Riyad (tt, 9/304) menjelaskan, bahwa ditegakkannya jihad itu pada prinsipnya adalah untuk meninggikan agama Allah di muka bumi -dengan segala sarana yang ada-, menegakkan keadilan dan keamanan bagi manusia di seluruh wilayah. Sebab hukum fitrah yang sebenarnya harus berlaku adalah ditegakkannya hukum-hukum Allah di muka bumi.

Karena alasan-alasan tersebut, maka Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz berpedoman bahwa, jihad akan tetap berlangsung hingga hari kiamat sebagaimana yang disebutkan dalam nash-nash syar`i. Kewajiban untuk selalu berjihad di jalan Allah tersebut selamanya akan dipikul oleh kaum muslimin secara keseluruhan -kecuali bagi mereka yang udzur-, sehingga Islam dapat membumikan syariat Allah serta membebaskan manusia dari peribadatan kepada manusia menuju peribadatan kepada Allah semata. Jika di tengah-tengah kaum muslimin tidak terdapat seorang waliyul amr (pemimpin) yang akan mengorganisir pergerakan jihad, maka wajib bagi mereka untuk mengangkat seorang pemimpin demi terwujudnya tujuan tersebut.”

Bisa dimengerti, bahwa konsep dan pemikiran Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz tentang jihad tersebut sangat bersesuaian dengan tujuan ajaran Islam. Yaitu, bahwa Islam sangat menjaga terpeliharanya lima perkara utama, yaitu menjaga agama, nyawa, keturunan, akal dan harta. Artinya, dengan adanya jihad, diharapkan terpeliharanya lima hal tersebut bisa terwujud, namun jika pergerakan jihad terhenti karena tidak adanya pembawa bendera jihad, atau seorang waliyul amr yang mengorganisirnya, maka maslahat kelima hal tersebut tidak akan terwujud.

Kelima: Implikasi Konsep dan Pemikiran Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz
Konsep dan pemikiran Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz dalam permasalahan jihad mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap pergerakan jihad di dunia Islam. Menurut penulis hal itu bisa dilihat dari beberapa fenomena di lapangan. Pertama, dampak positif. Artinya, secara tidak langsung pemahaman yang dibangun oleh Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz –berdasarkan Al Quran dan sunnah serta ijma` ulama-, bahwa jihad melawan orang-orang kafir akan senantiasa ada dan tidak pernah hilang dari muka bumi.

Kedua, dampak negatif. Yaitu banyaknya kelompok-kelompok pergerakan jihad atau pemuda muslim yang terlalu berlebihan dalam menerima dan mengembangkan pemikiran yang dibawa oleh Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz tersebut, sehingga tidak bisa bersikap adil dalam mengamalkan sebuah pemahaman (fatwa ulama). Mereka terlalu mudah memberikan vonis kafir/fasikq bagi orang yang tidak (belum) melaksanakan syariat jihad melawan orang-orang kafir.

Pengkafiran tersebut berawal dari pemahaman bahwa; (a) hukum jihad hari ini telah menjadi Fardhu Ain, (b) jihad tidak harus di bawah komando seorang waliyul amr, (c) dan bahwa kekuatan kaum muslimin telah mampu untuk melawan orang-orang kafir.
Pemikiran yang diusung oleh Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz sebenarnya tawassuth (pertengahan) dan fleksibel di antara pemahaman yang meniadakan segala bentuk pergerakan jihad, atau pemikiran yang terlalu memaksakan adanya pergerakan-pergerakan jihad meskipun tanpa memiliki kemampuan yang memadai. Dengan mengutip perkataan Ibnu Qudamah Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz (2005:32) mengatakan, “Ketika dalam kondisi lemah, wajib mengadakan I`dad (persiapan untuk perang) demi terlaksananya jihad di jalan Allah, baik berupa fisik atau kuda-kuda perang yang kuat”.

Artinya, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz memahami bahwa kaum muslimin harus tetap mengadakan pergerakan jihad terhadap orang-orang kafir, namun ketika kaum muslimin dalam kondisi yang lemah mereka tidak harus memaksakan terwujudnya jihad. Akan tetapi kewajiban mereka hanyalah menyiapkan kekuatan demi munculnya pergerakan-pergerakan jihad pada masa-masa mendatang. Wallahu a’lam

KIBLAT.NET
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

LIPUTAN DAKWAH

More on this category »

AUDIO KAJIAN ISLAM

More on this category »

KONSPIRASI MUSUH ISLAM

More on this category »

HOT NEWS

More on this category »

ARTIKEL ISLAM

More on this category »

Arsip Blog

Translate